Hukum adat, menurutnya, tetap hidup secara laten dalam kesadaran hukum masyarakat dan akan muncul kembali ketika dibutuhkan.
“Hukum adat dikenal dengan berbagai istilah, seperti hukum yang hidup dalam masyarakat, hukum kebiasaan, hukum tidak tertulis, hingga hukum Indonesia asli,” katanya.
Dalam seminar tersebut juga disampaikan sejumlah rekomendasi untuk Pemerintah Papua, antara lain pemetaan dan inventarisasi hukum adat secara partisipatif, penetapan masyarakat hukum adat, pemetaan wilayah adat, penyusunan Perdasus atau Perdasi, pembangunan pusat dokumentasi hukum adat, serta penguatan kapasitas aparat daerah dan lembaga adat dalam penerapan living law, termasuk teknik mediasi dan putusan adat.
Senada dengan itu, Ruben Magai dari BP3OKP Papua menekankan pentingnya pengaturan living law dalam peraturan daerah yang mencakup jenis kasus, pihak penyelesai sengketa, tata cara penyelesaian, pembuktian adat, denda adat, serta hubungan kerja dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
Sementara Marvey Dangeubun, Staf Pengajar STIH Mimika, menyatakan bahwa untuk mencegah benturan antara hukum adat dan hukum formal, diperlukan kajian dan penelitian hukum yang mendalam sebagai dasar penyusunan Perda tentang living law. (*)