• Senin, 22 Desember 2025

Ambivalensi ketokohan: antara karya dan luka sejarah

Photo Author
- Rabu, 5 November 2025 | 04:00 WIB
Sejumlah peserta membawa foto Pahlawan Nasional saat Parade Surabaya Juang 2025 di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (2/11/2025). Parade Surabaya Juang diikuti sekitar 3.000 peserta dari TNI, Polri (Antara/didik)
Sejumlah peserta membawa foto Pahlawan Nasional saat Parade Surabaya Juang 2025 di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (2/11/2025). Parade Surabaya Juang diikuti sekitar 3.000 peserta dari TNI, Polri (Antara/didik)

Tragedi ini memperlihatkan sisi lain ambivalensi: bahwa ide besar sekalipun dapat kehilangan arah bila ditafsirkan tanpa tanggung jawab moral.

Jika Soeharto menghadirkan dilema antara keberhasilan ekonomi dan pelanggaran kemanusiaan, dan Heidegger antara kejernihan intelektual dan keterlibatan politik, maka Nietzsche menunjukkan dilema antara kedalaman pemikiran dan penyimpangan tafsir.

Tiga figur ini memperlihatkan spektrum ambivalensi ketokohan: dari tindakan, pikiran, hingga interpretasi. Mereka menyingkap kerapuhan manusia di hadapan kuasa, ide, dan sejarah, serta bahaya ketika kecerdasan tidak diimbangi dengan kebijaksanaan etis.

Politik ingatan dan rekonsiliasi

Perdebatan tentang tokoh besar sejatinya bukan sekadar soal individu, tetapi bagian dari politik ingatan (politics of memory), yakni cara masyarakat menafsirkan masa lalu untuk membentuk identitas moralnya. Ingatan kolektif selalu menjadi arena pertarungan antara penghormatan dan pengakuan dosa sejarah.

Ketika sebagian masyarakat ingin mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, mereka tidak hanya berbicara tentang seorang manusia, tetapi tentang bagaimana bangsa ini ingin mengingat Orde Baru: apakah sebagai masa stabilitas dan kemajuan, atau sebagai masa pembungkaman dan ketakutan?

Begitu pula dengan Heidegger dan Nietzsche dalam tradisi filsafat. Keduanya menandai pergulatan moral Eropa modern: antara kejernihan rasional dan kegelapan sejarah. Di sini kita belajar bahwa pencerahan intelektual tidak selalu berarti pencerahan moral.

Politik ingatan menuntut kejujuran historis. Mengangkat seorang tokoh berarti juga memikul tanggung jawab atas ingatan yang menyertainya. Menghapus atau memutihkan masa lalu justru menutup kesempatan bangsa untuk belajar dari kesalahan.

Pelajaran Moral

Filsuf Hannah Arendt pernah menulis tentang banalitas kejahatan: bahwa kejahatan besar bisa lahir bukan dari kebencian ekstrem, tetapi dari ketidaksadaran moral dan kepatuhan buta terhadap sistem.

Kita dapat melihat gejala ini dalam setiap ambivalensi ketokohan, ketika kecerdasan, kekuasaan, atau pengaruh tidak disertai refleksi moral yang mendalam. Bangsa yang hanya menghargai kecerdasan tanpa menumbuhkan integritas akan terus melahirkan tokoh-tokoh besar yang kehilangan nurani. Sebab yang membuat manusia benar-benar "besar" bukanlah prestasinya, melainkan nilai kemanusiaan yang ia wariskan setelah kekuasaan berakhir.

Kita dapat menghormati karya tanpa menutup mata terhadap luka yang ditinggalkannya.

Dari Soeharto, kita belajar tentang bahaya kekuasaan tanpa koreksi; dari Heidegger, kita belajar tentang risiko kecerdasan tanpa moral; dan dari Nietzsche, kita belajar tentang bahaya tafsir tanpa tanggung jawab.

Ketiganya menunjukkan bahwa ketokohan sejati tidak diukur dari kepandaian atau kekuasaan, melainkan dari kesetiaan pada kebenaran dan kemanusiaan.

Mereka adalah cermin bagi bangsa ini agar berani menatap sejarah dengan jujur, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk belajar. Ketokohan sejati tidak hanya diukur dari apa yang dibangun, tetapi dari nilai yang diwariskan setelah semua kuasa dan kehormatan sirna.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Lucky Ireeuw

Tags

Rekomendasi

Terkini

Bantuan Kesehatan Bagi Korban Banjir di Sumatera

Selasa, 9 Desember 2025 | 19:01 WIB

Perbarui sertifikat untuk cegah sengketa

Kamis, 20 November 2025 | 21:05 WIB

Prabowo targetkan tambah 30 fakultas kedokteran baru

Kamis, 20 November 2025 | 20:53 WIB

W.R. Supratman: Pahlawan mewangi, bukan berdarah

Rabu, 12 November 2025 | 19:54 WIB

Biaya haji 2026 turun

Rabu, 5 November 2025 | 04:03 WIB
X