• Senin, 22 Desember 2025

Ambivalensi ketokohan: antara karya dan luka sejarah

Photo Author
- Rabu, 5 November 2025 | 04:00 WIB
Sejumlah peserta membawa foto Pahlawan Nasional saat Parade Surabaya Juang 2025 di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (2/11/2025). Parade Surabaya Juang diikuti sekitar 3.000 peserta dari TNI, Polri (Antara/didik)
Sejumlah peserta membawa foto Pahlawan Nasional saat Parade Surabaya Juang 2025 di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (2/11/2025). Parade Surabaya Juang diikuti sekitar 3.000 peserta dari TNI, Polri (Antara/didik)

Oleh Pormadi Simbolon *)

Jakarta, 04/11 (ANTARA) - Setiap bangsa memiliki tokoh besar yang dikenang dengan rasa hormat, tetapi juga dengan perdebatan panjang. Ketokohan selalu menyimpan paradoks: antara jasa dan luka, antara pengaruh dan dosa sejarah.

Dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai rencana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional mencerminkan dilema itu dengan tajam.

Sebagian masyarakat mengenangnya sebagai Bapak Pembangunan yang membawa stabilitas ekonomi dan kemajuan infrastruktur; sebagian lain mengingatnya sebagai penguasa otoriter yang menutup ruang kebebasan, meninggalkan jejak pelanggaran HAM dan korupsi sistemik.

Soeharto menjadi contoh klasik tokoh yang di satu sisi berjasa besar, tetapi di sisi lain memunculkan trauma sosial dan luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh. Pertanyaannya: apakah seseorang dapat dihormati karena karyanya bila moralitas dan tindakannya menimbulkan penderitaan?

Antara karya dan moralitas

Dalam menilai tokoh, masyarakat sering terjebak dalam dua ekstrem: mengagungkan tanpa kritik, atau menolak sepenuhnya. Padahal manusia selalu kompleks. Seorang pemimpin bisa membawa kemajuan sekaligus menindas, seorang filsuf bisa mengajarkan kebenaran sekaligus tersesat secara moral.

Dalam kajian etika, ada dua pendekatan untuk membaca paradoks ini.

Pertama, pendekatan hermeneutik-kritis, yang memisahkan antara karya dan pribadi. Tokoh seperti Martin Heidegger, misalnya, tetap dihargai sebagai filsuf besar abad ke-20 karena analisisnya tentang eksistensi manusia, meskipun pernah terlibat dalam ideologi Nazi. Pemikiran besarnya tetap penting bagi sejarah filsafat, tetapi harus dibaca dengan kesadaran penuh akan kesalahannya secara moral.

Sebaliknya, kedua, pendekatan moralistik-holistis menolak pemisahan itu. Menurut pendekatan ini, tindakan dan pikiran adalah satu kesatuan. Seorang tokoh tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai hidup yang ia jalankan. Bila seorang pemimpin terbukti menindas atau seorang pemikir menyesatkan, maka ketokohan itu kehilangan legitimasi moral.

Kedua pendekatan ini menegaskan bahwa menghormati karya besar tidak boleh berarti menutup mata terhadap luka sejarah yang ditinggalkan.

Nietzsche dan bahaya tafsir

Ambivalensi ketokohan juga tampak jelas dalam dunia filsafat melalui sosok Friedrich Nietzsche. Ia dikenal sebagai filsuf radikal yang berani mengumandangkan “kematian Tuhan” dan menyerukan lahirnya manusia unggul (Übermensch) —manusia yang menciptakan nilai-nilai baru setelah runtuhnya moralitas lama.

Namun, setelah kematiannya, pemikiran Nietzsche disalahpahami dan dimanipulasi untuk mendukung ideologi totalitarian Nazi. Ironisnya, Nietzsche yang menolak nasionalisme dan kekerasan malah dijadikan simbol supremasi ras oleh rezim yang menindas kemanusiaan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Lucky Ireeuw

Tags

Rekomendasi

Terkini

Bantuan Kesehatan Bagi Korban Banjir di Sumatera

Selasa, 9 Desember 2025 | 19:01 WIB

Perbarui sertifikat untuk cegah sengketa

Kamis, 20 November 2025 | 21:05 WIB

Prabowo targetkan tambah 30 fakultas kedokteran baru

Kamis, 20 November 2025 | 20:53 WIB

W.R. Supratman: Pahlawan mewangi, bukan berdarah

Rabu, 12 November 2025 | 19:54 WIB

Biaya haji 2026 turun

Rabu, 5 November 2025 | 04:03 WIB
X