Jakarta, 22/10 (ANTARA) - Lantunan ayat suci bergaung dari balik tembok Pondok Pesantren Pabelan di Magelang, Jawa Tengah, pagi itu. Udara pegunungan yang sejuk menemani aktivitas para santri yang tengah membaca dan menghafal Al-Qur’an, serta berdiskusi tafsir.
Di tengah hiruk-pikuk era digital, kehidupan para santri tetap berjalan dengan ketenangan khas pesantren: disiplin, sederhana, dan penuh semangat dalam menuntut ilmu.
Di balik kesederhanaan itu, pesantren, seperti Pabelan, sudah menjadi bagian dari gerak besar pendidikan Indonesia.
Sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren disahkan, geliat dunia pesantren semakin terasa. UU ini mengakui pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memiliki fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Agama per September 2025, jumlah pesantren di Indonesia kini mencapai 42.391 unit, dengan total 1.605.445 santri yang tersebar di 34 provinsi. Di antara jutaan santri itu, sekitar 816.519 adalah santri putra, dan 788.926 santri putri.
Angka itu naik signifikan, lebih dari 11 ribu pesantren baru berdiri dalam enam tahun terakhir. Lonjakan ini bukan hanya mencerminkan antusiasme masyarakat terhadap pendidikan berbasis keagamaan, tapi juga kepercayaan terhadap pesantren sebagai benteng moral bangsa.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan, kekuatan pesantren bukan hanya pada aspek keilmuannya, melainkan juga pada kemampuannya menyeimbangkan antara kecerdasan rasional dan nilai-nilai spiritual.
Pesantren Pabelan, misalnya, dikenal sebagai pesantren modern yang tetap berakar kuat pada nilai-nilai klasik. Didirikan lebih dari setengah abad lalu oleh K.H Hamam Jafar, lembaga ini menanamkan semangat kemandirian dan keterbukaan bagi para santrinya.
Di sini, para santri tak hanya mempelajari kitab kuning, tetapi juga menguasai teknologi hingga bahasa asing. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan identitasnya.
Selain itu, nilai gotong royong dan ukhuwah yang tertanam di pesantren menjadi fondasi kuat menjaga harmoni sosial.
Di samping itu, banyak pesantren kini memiliki unit usaha produktif seperti koperasi, berbasis kemandirian santri.
Jejak Hari Santri
Setiap 22 Oktober, gema Hari Santri Nasional kembali menggugah ingatan kolektif bangsa. Tanggal itu bukan sekadar simbol seremonial, melainkan penanda sejarah perjuangan ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sejarahnya bermula pada 22 Oktober 1945, ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad di Surabaya. Seruan itu membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan kedaulatan Indonesia dari penjajahan. Delapan puluh tahun kemudian, semangat jihad keilmuan dan kebangsaan itu masih hidup di dada para santri.