Lebih jauh, Armin menyoroti persoalan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang menurutnya sering dilanggar, terutama untuk kategori beras premium.
“Untuk wilayah timur, beras premium maksimal patahan 15% dijual dengan HET Rp15.800. Tapi banyak yang jual di atas itu. Medium pun seharusnya maksimal Rp13.500, dengan patahan 15-25% tapi faktanya berbeda,” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa meskipun beras dioplos untuk alasan harga atau kualitas, penjual tetap harus memperhatikan batas HET.
Jika tidak, akan terjadi ketimpangan harga yang merugikan konsumen.
Salah satu kebiasaan konsumen yang menurut Armin perlu dikritisi adalah obsesi terhadap beras yang putih bersih. Banyak masyarakat, katanya, lebih memilih beras yang terlihat putih tanpa noda, meskipun itu berarti beras tersebut telah melalui proses pemutihan menggunakan klorin.
“Beras dari Merauke sebenarnya lebih sehat. Warnanya tidak putih bersih, tapi masih ada PK — pecah kulit, itu justru vitaminnya. Tapi masyarakat anggap itu kotor, padahal itu yang bergizi,” jelasnya.
Ia menyesalkan bahwa karena persepsi visual semata, banyak konsumen meninggalkan beras lokal berkualitas demi beras “putih bersih” yang mungkin sudah kehilangan sebagian besar kandungan gizinya.
Armin juga menekankan bahwa kontrol harga dan distribusi pangan bukan di tangan masyarakat, tetapi di Pemda dan Satgas Pangan. Bulog Biak sendiri hanya menerima dan mendistribusikan beras dari hasil MUF (Mutu dan Uji Fisik) dari kanwil lain.
“Kami tidak uji di sini, hanya terima dari penggilingan, packing, dan kirim. Jadi pengawasan seharusnya dilakukan sejak dari produsen dan distribusi awal,” katanya.
Melalui wawancara ini, Kepala Bulog Biak memberikan pandangan mendalam tentang kompleksitas dunia perberasan: dari persoalan rasa, tekstur, harga, hingga persepsi konsumen dan regulasi negara.
“Pada akhirnya, semua beras juga dikunyah. Jadi mengapa harus terlalu pilih-pilih yang utuh dan putih saja? Masyarakat harus lebih bijak,” tutup Armin Bandjar. (*)