Pagi itu, langit Sentani seperti tersenyum malu, matahari menggeliat pelan dari balik awan, menandai awal perjalanan kami menuju Sarmi, kota yang dijuluki Negeri Seribu Ombak.
Laporan: ROBERT MBOIK, Sarmi - Papua
Sejak pukul sembilan pagi, dua mobil Kijang Innova menghela langkah panjang, membelah lembah dan rimba, menyusuri nadi daratan Jayapura, kota penuh kenangan, menuju Sarmi yang kadang berdenyut kuat, kadang tersendat karena luka yang tak kunjung diobati, jalan rusak.
Aku, Robert Mboik, asalku Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, yang kini menjadi mata dan telinga media terbesar di Papua, Cenderawasih Pos.
Memulai perjalanan bersama Pak Mansur, adik Grati, Pak Weni, dan adik Paska.
Kami bukan sekadar pelancong, kami pemburu kisah, pembidik momen untuk disuguhkan pada dunia.
Dari Sentani hingga Nimbokrang, aspal masih ramah, mulus bak janji manis politisi saat kampanye.
Tapi begitu kami memasuki Distrik Kaureh, jalan mulai menunjukkan wajah aslinya, bergelombang, berlubang, bahkan di beberapa titik tak lagi layak disebut jalan.
Ini bukan sekadar medan, ini ujian kesabaran dan kekuatan rangka mobil.
Kamipun berguncang dalam irama tak beraturan, seolah kendaraan menari di atas luka-luka bumi yang tak pernah sembuh.
"Saya bukan biasa lagi ke Sarmi, ini sudah jadi urat nadi kami," kata Akbar, sopir rental yang setia memegang kemudi meski aspal mengoyak roda.
Ia mengemudi laksana penari lincah di panggung penuh jebakan, 60 hingga 80 kilometer per jam tanpa ragu, hafal setiap lekuk dan lubang seperti membaca puisi usang yang diulang tiap hari.