Orang Tua Tukang Cangkul, Tukang Ngarit, Tapi Anak Cucu Harus Lebih Sukses
Dengan perawakan yang kecil namun punya tekad kuat untuk merubah nasib, Ahmad Yuro muda "nekad" mendaftarkan diri untuk mengikuti program transmigrasi. Bagaimana bisa tiba di Sarmi apa saja suka dan duka
WENY FIRMANSYAH, Sarmi
Ahmad Yusro yang pada waktu itu tinggal di daerah lembah Tidar Magelang, Jawa Tengah sama sekali tidak menyangka bisa sampai 28 tahun tinggal di Sarmi provinsi Papua, yang dari awal penempatan sebanyak 14 kepala keluarga (KK) kini tinggal 2 KK saja.
"Waktu itu di tempat saya sudah ada stigma jelek tentang transmigrasi, bahwa yang perli ikut program transmigrasi adalah orang yang tidak baik, sampah masyarakat dan sebagainya. Saya masih ingat ketika itu satu kecamatan (distrik) hanya saya saja yang daftar transmigrasi,"ungkapnya saat HUT ke-28 kampung Tamarsari, Bonggo Timur.
Ketika mendaftar dirinya memilih yang paling jauh yakni ke Papua, mengapa memilih jauh, karena dia tak ingin sering pulang balik dari lokasi transmigrasi ke Magelang.
"Ada juga keinginan saya membuktikan stigma dari masyarakat bahwa transmigrasi program yang tidak bagus, dan syukur Alhamdulilah tidak seperti apa yang jadi anggapan orang-orang," bebernya.
Dia menceritakan awalnya pada 10 Agustus 1997 dirinya tiba di Transito Magelang, kemudian 13 Agustus dia dijemput pegawai kantor transmigrasi Semarang, dan malamnya langsung dibawa ke Surabaya, dan langsung naik pesawat Merpati menuju ke Jayapura.
"Setelah paginya tiba di Sentani, kami dibawa ke balai transmigrasi di depan 751, kami diinapkan sehari semalam di tempat tersebut. Kemudian diantar disitulah baru kita bertemu transmigran dari daerah lain seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI dengan diantar ke lokasi masing dengan menggunakan bus damri dan barang bawaan menggunakan truk," ungkapnya.
Ahmad Yusro masih teringat jelas setelah tiba di Kampung Armopa Kabupaten Jayapura pada 16 Agustus, keesokan harinya langsung mengikuti upacara 17 Agustus di Lapangan Armopa bersama para transmigran lainnya dan pegawai transmigrasi.
"Saya masih ingat kita upacara di lapangan yang masih lumpur, peserta upacara pakai sepatu boot. Itu cerita saya tapi yang lain tentu berbeda-beda, ada yang datangnya enak, ada yang sengsara, ada yang datangnya mau masuk rumah harus dilempar dulu rumahnya, karena rumah yang akan ditinggal sudah dibangun 2 tahun sebelumnya baru warga trans berdatangan,"kenangnya.
Tapi menurutnya di SP 5 Bonggo ada perumahan yang belum jadi tapi para transmigran sudah berdatangan, ada yang rumahnya belum ada pintu, jendela belum dikasih engsel, dan di dalamnya masih ada sisa-sisa bangunan.
Salah satu tokoh yang kini dituakan di Kampung Tamarsari itu menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin anak cucunya mengikuti jejak orang tuanya. "Jangan sampai orang tuanya tukang ngarit, tukang cangkul anaknya. Ya harus ada peningkatan dan Alhamdulilah anak cucu bisa lebih sukses dari orang tuanya," bebernya. (*)