Akses jalan ini, seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, namun yang tampak justru punggung yang bengkok, penuh luka, dipikul oleh pengabaiaan dari Pemprov Papua.
Sungguh miris, ketika jalan provinsi yang seharusnya menjadi jalan harapan justru menjadi jalan derita.
Di kiri kanan, rerumputan ilalang seperti menyembunyikan malu, menutup luka-luka yang dibiarkan begitu saja.
Beberapa jembatan bahkan masih bergantung pada batang kayu gelondongan, seperti pengingat bahwa pembangunan di sini tak lebih dari tambal sulam darurat.
Padahal, tanah yang kami lintasi bukan tanah biasa.
Di balik sunyinya hutan dan sepinya pemukiman, terbentang lahan tidur yang siap digarap.
Lahan yang jika saja jalan dibenahi, bisa menjadi ladang emas hijau, pertanian, peternakan, bahkan ekowisata.
Tapi siapa yang mau bertaruh waktu dan biaya jika akses transportasi masih menyiksa seperti ini?
Ketika akhirnya kami tiba di Sarmi, rasa letih segera ditenangkan oleh pesona alamnya. Negeri Seribu Ombak ini menyuguhkan panorama yang membasuh lelah.
Jembatan warna-warni menyambut dengan ceria, spot-spot foto dari peninggalan Perang Dunia seperti jangkar tua di Holmafen seolah bercerita tentang masa lalu yang penuh gejolak.
Di sini, waktu seolah melambat, dan rasa aman mengalir dari cerita Pak Sodik, penjaga penginapan kami, bahwa siang dan malam di Sarmi sama saja, tenang, damai, tanpa rasa takut.
Sarmi ibarat permata yang tertutup debu, menanti tangan pemerintah provinsi untuk menggosok dan mengasahnya.
Jalan yang rusak bukan hanya soal infrastruktur, tapi tentang nasib dan masa depan masyarakat yang bergantung padanya.
Kami datang untuk hunting, tapi pulang membawa lebih dari sekadar foto, kami membawa cerita, getir, dan harapan.
Semoga kelak, jalan menuju Sarmi tak lagi seperti luka terbuka, tapi menjadi jalur emas yang menghubungkan mimpi-mimpi masyarakatnya dengan kenyataan yang membahagiakan, semoga.(*)