Lucky/Cepos
Seorang Mama Papua menyampaikan permasalahannya kepada Hilal Elver, pelapor Khusus Hak Atas Pangan PBB, dalam pertemuan di kantor Amnesty Internasional Indonesia di Jakarta, Sabtu (14/4)
Ketika Warga Papua Bertemu Pelapor Khusus Hak atas Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Bertemu pelapor Khusus PBB dan menyampaikan secara langsung berbagai keluhan dan permasalah merupakan kesempatan yang langka. Sekitar 40 orang asli Papua mewakili 7 wilayah adat Papua, dari Sorong hingga Merauke mendapat kesempatan mencurahkan isi hati mereka langsung kepada Hilal Elver, Pelapor Khusus Hak atas Pangan PBB. Apa saja yang disampaikan? Berikut Laporan Lucky Ireeuw.
------------------------------
Kantor pusat Hight Disert Indonesia (HDI) di Menteng, Jakarta pada Sabtu sore (14/4) nampak sepi. Tapi tidak demikian di lt, 3 gedung bercorak unik tersebut, tempatnya di ruang pertemuan Lembaga Amnesty Internasional yang berkantor di sana. Puluhan orang Papua yang datang dari 7 wilayah adat bertemu langsung dengan Hilal Elver, pelapor khusus Hak atas Pangan PBB. Perbicangan hangat terjadi disana.
Selama kunjungannya dari 9-18 April di Indonesia, Pelapor Khusus tidak dijadwalkan berkunjung ke Papua.” Saya hanya sampai di Ambon, tapi saya pikir sudah cukup dekat dengan Papua,” ujarnya. Oleh karena itu, dirinya sangat senang, bisa bertemu langsung dengan sejumlah warga Papua untuk berdialog, mendengar informasi dari tangan pertama apa saja yang permasalahan masyarakat di Papua terkait pemenuhan hak atas Pangan.
Yakonias S dari wilayah adat Tabi, mengawali laporan. Ia bercerita tentang hilangnya tanah dan hutan yang menjadi sumber pangan lokal, seperti sagu dan lainnya, akibat pembukaan lahan perusahaan HPH di Sarmi. “ Perusahaan memperoleh izin disana, dengan cara menipu orang tua kami dengan bayaran yang sangat murah, tidak masuk akal. Orang tua kami hanya dibayar dengan Mie Instan 5 karton, ikan kaleng, dan beras 10 kg. Hutan kami mulai habis dan sumber-sumber pangan menjadi terbatas,” ujarnya.
Servo Tuamis Ketua Dewan Adat Keerom, mengungkapkan, Pelepasan tanah adat 28 ribu Ha tahun 1981 untuk pemukiman dan lahan transmigrasi, dan 50 ribu Ha untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit menjadi awal bencana hilannya hak mereka atas tanah dan pangan lokal sebagai makanan pokok mereka sejak dulu. “ Puluhan ribu hektar hutan kami yang kaya dengan sumber daya alam, tempat kami berkebun memperoleh pangan lokal menjadi hilang, sungai dan ikan didalamnya tidak ada lagi, hutan tempat kami berburu juga lenyap,” ujarnya.
Saat ini mereka sudah nyaris tidak punya tanah adat lagi. “Tanah adat kami 68 ribu hektar beralih dari tanah adat menjadi tanah negara. , hari ini kami sudah tidak punya tanah lagi.,”paparnya
Penyerahan sebanyak 1500 sertifikat, tahap awal 750 sertifikat yang diserahkan untuk warga di Keerom yang dilakukan oleh pemerintah, itu bukan kepada kami masyarakat adat, tetapi kepada orang dari luar, sehingga ini menjadi pertanyaan bagi kami masyarakat adat, hutan dan tanah kami hilang, tetapi kami tidak dapat apa-apa,” terangnya. Dikatakan, sudah 35 tahun mempertanyakan masalah ini, tetapi tidak ada jawaban yang jelas.
Mewakili masyarakat adat suku Sentani, Irenius Pepuho menyampaikan masyarakat adat Sentani sudah ada sekitar 300 tahun berdiam di bawah kaki gunung Cycloop dan di Danau Sentani yang dulunya hidup dari makanan pokok Sagu, kini mulai hilang. Kurang lebih 500 hektar dusun Sagu ditebang untuk pembangunan jalan, perumahan, perkantoran, perusahaan dan usaha-usaha molik swasta. “ Sekarang sumber pangan Sagu sudah hampir hilang, danau kami juga mulai tercemar dengan sampah. Kami minta ibu pelapor khusus hak atas Pangan dari PBB untuk mendorong pemerintah benar-benar memperhatikan masalah yang kami alami,” paparnya.
Petronela M mewakili masyarakat 3 kampung, Tobati, Enggros dan Nafri yang mediami Teluk Youtefa mengungkapkan kesedihan atas tercemarnya laut teluk tempat warga mencari ikan. Hilangnya hutan sagu di kawasan Abepura dan Kotaraja dan hutan bakau di sekitar teluk yang sudah tidak bisa lagi sebagai tempat warga kampung mencari hidup. “ Hutan perempuan di kawasan hutan bakau sebagai tempat mama-mama mencari kerang sekaligus mempunyai nilai budaya dan kearifan lokal menjadi hilang karena pembangunan jalan dan jembatan. Pemerintah harus melihat hal ini karena ini berdampak besar pada keberlangsungan hidup kami masyarakat yang mendiami teluk Youtefa,” tuturnya.
Dari wilayah Lapago, mama Lahasa Kobal menyampaikan tentang produk makanan dari luar Papua yang telah menggantikan bahan makanan local yang selama ini mereka konsumsi. Penyediaan pangan lokal tidak banyak dukungan dari pemerintah, makanan asli bahkan diganti dengan pruduk luar yang bukan makanan mereka sesungguhnya“ Mie Instan itu bukan makanan kami, juga Beras ( Raskin, red) tetapi kenapa makanan itu yang mereka berikan ke kami. Kami dari dulu makan hipere ( ubi Jalar), keladi, singkong dan makanan dari kebun sendiri, mengapa sekarang kami diajarkan makan Mie Instan?” ujar mama asal Yahukimo ini dengan polos dalam bahasa daerah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Salah Seorang kepala suku Nduga, juga dalam bahasa daerah menyoroti pembangunan infrastruktur yang mengancam ruang kehidupan mereka, terutama tempat mereka mencari makan dan berkebun. Terlebih, pembangunan infrastruktur tersebut tanpa permisi kepada mereka sebagai memilik tanah dan hutan. “ Manusia itu penting atau tidak,? kalau penting, harus saling tanya, tidak asal bangun tanpa bicara dengan masyarakat asli pemilik tanah ulayat. Itu sama saja membunuh (sumber kehidupan, red) Kami,” paparnya.
Philipus dari Asmat khawatir, generasi Asmat tidak mengenak pangan local, Karena pruduk makanan instan mudah masuk ke masyarakat. Mie Instan, bahkan kopi Instan menjadi produk yang dimakan dan minum oleh anak muda di kampungnya. “ Ini ancam serius, pemerintah harus perhatikan hal ini,” tegasnya. Ketergantungan mereka terhadap Raskin, dan semakin krisisnya pangan lokal, menjadi salah satu faktor penyebab gizi buruk di Asmat.
Dari Merauke, Beatrix G menyuarakan soal pembukaan lahan sawah besar-besaran telah menggantikan dusun Sagu, sebagai pangan asli masyarakat Merauke. Sungai mereka yang jernih, kini menjadi kabur dan hanya untuk tempat mimun bagi ternak. Ratusan hektar hutan sumber pangan local hilang untuk pembangunan usaha perkebunan besar-besaran oleh perusahaan swasta dengan campur tangan pemerintah. Tanah adat beralih menjadi tanah
Dampak dari pertambangan PT. Freeport Indonesia terhadap kehidupan masyarakat asli di Mimika juga menjadi sorotan dalam pertemuan antara pelapor khusus PBB dengan masyarakat asli Papua.
Mama Agustina, dari suku Kamoro menyampaikan bahwa kerusakan lingkungan akibat libah tambang berpengaruh pada sumber-sumber pangan lokal, di hutan bakau, sungai-sungai di Mimika dan laut.” Masyarakat kami sulit mencari ikan, kerang, kepiting, dan pohon Sagu yang menjadi kering,” terangnya.
Berturut-turut pewakilan dari wilayah Korowai menyampaikan soal ekploitasi keberadaan mereka, masuknya produk dari luar, minimnya tenaga kesehatan, dan gizi buruk yang mereka alami. Pewakilan dari Manokwari dan sorong juga menyampaikan persoalannya, demikian juga dari Wondama, dan teluk Bintuni yang bersuara mengenai ruang pencarian ikan mereka di laut dan daerah yang makin sempit akibat sudah masuk dalam wilayah operasional perusahaan.
Mereka mengusulkan agar pelapor khusus dari PBB jangan hanya ke daerah lain di Indonesia, tetapi juga harus masuk dan lihat kondisi riil di Papua.
Semua masukan dicermati oleh Hilal Elver. Sesekali dirinya bertanya kembali jika ada informasi yang kurang dipahami dan peril diperjelas.
Sebagai pelapor Khusus Hak atas Pangan dari PBB, dirinya akan memfokuskan pada bagaimana pemenuhan hak pangan dari masyarakat lokal di Papua dan Indonesia pada umumnya. “ Ada banyak persolan yang diungkapkan, dan saya telah mencatat. Ini akan mejadi laporan saya nanti. Saya juga akan mendorong hal ini kepada Pemerintah Indonesia agar diperhatikan dengan sungguh-sungguh,” ujar perempuan berkebangsaan Turki ini.
Dirinya mengaku telah banyak mendengar dan membaca laporan-laporan tentang kondisi Papua, baik dari pemerintah atau dari lembaga-lembaga internasional, juga dari LSM. “ Papua bukan tempat yang dilupakan, dengan mendengar langsung yang bapak dan ibu sampaikan, saya akan mendorong pemerintah Indonesia untuk benar-benar memperhartikan masalah-masalah ini untuk mencari dan mencapai solusi yang terbaik,” tegasnya.
Elver adalah seorang Profesor Riset, dan salah satu direktur Proyek tentang Perubahan Iklim Global, Keamanan Manusia, dan Demokrasi yang bertempat di Orfalea Center untuk Pusat Studi Global & Internasional dan anggota terhormat di University of California Los Angeles Law School (UCLA) Resnick Food Law and Policy Center.
Pelapor Khusus adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia.Prosedur Khusus, badan ahli independen terbesar dalam sistem Hak Asasi Manusia PBB, merupakan nama umum dari mekanisme pencarian fakta independen dan mekanisme pemantauan yang membahas situasi negara tertentu atau masalah tematik di seluruh bagian dunia.
Ahli Prosedur Khusus bekerja secara sukarela; mereka bukan staf PBB dan tidak menerima gaji untuk pekerjaan mereka. Mereka terlepas dari pemerintahan atau organisasi manapun dan melayani dalam kapasitas masing-masing. ***