Pembuat UU Pemilu Dinilai Kurang Berpihak Pada OAP Sesuai Amanat UU Otsus
CEPOSONLINE.COM, JAYAPURA - Banyaknya aksi protes bahkan disertai dengan ancaman kekerasan terhadap para penyelenggara pemilu seperti dalam rapat rekapitulasi perolehan suara baik kepada KPUD dan Bawaslu kabupaten/ kota dan provinsi tentang gagalnya Calong Anggota Legislatif Orang Asli Papua (OAP) menduduki kursi di DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi dan DPR RI, menunjukkan bahwa ada kekeliruan yang perlu menjadi koreksi dan evaluasi oleh Pemerintah, Partai Politik, dan penyelenggara Pemilu, terutama para pembuat UU Pemilu, demikian dinyatakan Pengamat Politik Lokal Papua Frans Maniagasi.
“ Kekeliruan itu sejak awal pembuatan UU Pemilu yang kurang mempertimbangkan faktor perlindungan dan keberpihakan kepada Orang Asli Papua (OAP) sebagaimana yang yang diamanatkan UU Otonomi Khusus Papua ( UU No 21/2001 Junto UU No 2/2021),” ujarnya kepada Ceposonline.com di Jayapura.
Artinya, Lanjut Frans, perlu disampaikan bahwa hal yang mestinya diperhatikan dengan sungguh – sungguh sejak awal para pembuat UU tentang Pemilihan Umum di DPR RI. Hal itu adalah pembuatan UU Pemilu disebut dengan rejim Pemilihan Umum dan UU Otonomi Khusus yaitu merupakan rejim pemerintahan khusus berdasarkan kekhasan Papua.
Semestinya pada saat pembuatan UU Pemilu hendaknya para Anggota DPR RI yang menyiapkan dan membahas tentang UU Pemilu memahami bahwa tatkala bentangan pembahasan mengenai Pemilu di Tanah Papua maka UU Otsus Papua menjadi dasar.
Dalam pengertian bahwa UU Pemilu adalah UU yang berlaku umum tatkala hendak diberlakukan di Tanah Papua dan Tanah Rencong Aceh maka nilai – nilai kekhususan termasuk hak – hak dasar masyarakat asli Papua sebagaimana diatur dalam UU Otsus diakomodir dalam batang tubuh melalui pasal pasal di UU Pemilu.
Sebab mengingat selain kekhususan Papua, Aceh, DI Yogyakarta, dan DKI seperti yang termaktub pada pasal 18 B UUD 1945 bahwa Negara menghormati dan menghargai wilayah – wilayah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan.
“ Berdasarkan pasal 18 B UUD 1945 tersebut maka negara melalui DPR RI sebagai pembuat UU wajib hukumnya mengadopsi nilai dari kekhususan dan hak – hak dasar diadopsi dalam setiap peraturan perundang – undangan dan kebijakan negara termasuk UU Pemilu,” ujarnya.
Sehingga ketentuan dalam pasal – pasal UU Pemilu tersebut secara eksplisit mengatur tentang proposional, prosentase dan OAP. Selain itu mesti ada pertimbangan khusus juga yang mendukung ketentuan menyangkut prosentase, jumlah OAP maka dasar yang perlu menjadi pertimbangan Pemilu di Papua tidak semata – mata berdasarkan jumlah penduduk (DPT) tapi berdasarkan wilayah, luas wilayah.
Artinya bahwa pertimbangan pemekaran wilayah atau DOB selama ini yang digunakan oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI dalam pemekaran Papua bukan karena jumlah penduduk tapi luas daerah dan keterisolasiannya. Bertitik dari luas wilayah dan tingkat keterisolasian sebagai kerangka dasar dan kerangka kerja pembuatan untuk UU Pemilu khusus pasal dan ayat yang dikenakan di Tanah Papua.
Berbasis pada dasar itu, kata MAniagasi, perlu selanjutnya dijabarkan dalam peraturan turunan termasuk PKPU. “ Perlu saya ingatkan bahwa ketentuan ini diluar dari kursi pengangkatan di DPR Provinsi dan Kabupaten/ kota, dari ketentuan UU Otsus. Saya perlu pertegas kepada kita bahwa logika yang mendasari kursi pengangkatan Otsus itu sesuai dengan roh dan tujuan Otsus bahwa sebenarnya kursi pengangkatan dikhususkan bagi kelompok masyarakat asli Papua yang tidak terwakili melalui pemilu, seperti suku – suku terasing,” jelasnya.
Selanjutnya baik Partai politik mulai dari Pusat hingga Daerah mesti berpedoman menaati ketentuan dan melaksanakannya dalam rekruitmen dan kaderisasi setiap Orang Asli Papua. Partai wajib memberikan prioritas utama bagi OAP untuk duduk di kursi legislatif. Termasuk KPU RI mesti mengakomodir dalam Peraturan KPU menjadi pedoman dan dasar dalam penyelenggaraan pemilu di Tanah Papua.
“ Mengapa hal ini perlu dipertegas, pertama seperti yang telah disinggung sesuai dengan pasal 18 B UUD 1945, Negara menghormati dan menghargai wilayah wilayah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan. Realisasi dari penghormatan dan penghargaan itu maka kewajiban bagi Negara melalui penyelenggaraan Pemilu, baik partai politik mau pun KPU RI dan KPUD untuk memprioritaskan Orang Asli Papua menduduki kursi di lembaga legislatif dari Pusat hingga ke daerah sebagai cerminan dari negara memberikan perlindungan dan affirmasi terhadap hak – hak dasar termasuk hak politiknya,” ungkappnya.
Kedua, bahwasanya hak politik melalui partisipasi politik dengan memberikan porsi terbesar untuk OAP dilembaga legislatif merupakan kongkritisasi nyata Pemerintah, Partai politik dan KPU dan Bawaslu telah menunjukkan keberpihakan kepada OAP dalam proses pengambilan keputusan negara ini dengan mengkanalisasi aspirasi dan kepentingannya sehingga teragregat dalam sistem politik Negara Republik Indonesia.
Dan yang ketiga, dengan memberikan peluang yang sebesar – besarnya bagi Orang Asli Papua berpartisipasi pada kursi legislatif dari Pusat sampai daerah menunjukkan Pemerintah sukses membangun, dan menjaga keberlanjutan National Building ke Indonesiaan baik di Tanah Papua mau pun di Indonesia.