Air deras dari hulu ini mengular dengan menghindari lubang-lubang raksasa yang dihalangi benteng pasir.
Di beberapa sisi sungai tampak bedeng dengan atap terpal yang menjadi tempat tinggal sementara para buruh tambang.
Sebagian besar pekerja ternyata bukan berasal dari Papua, melainkan didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Sulawesi, Jawa, hingga Sumatera.
Mereka direkrut langsung oleh pengusaha tambang yang berhubungan dengan kepala suku sebagai pemilik tanah ulayat.
Hermus Indou, Bupati Manokwari, menekankan dampak serius yang dirasakan masyarakat akibat aktivitas ilegal itu.
“Air yang seharusnya digunakan warga untuk bertani kini tercemar bahan kimia berbahaya. Pertanian stagnan dan warga gagal panen,” ujarnya.
Selain pencemaran, Hermus menyoroti banjir yang berulang kali melanda wilayah hilir.
Sedimentasi akibat galian tambang membuat aliran Sungai Wariori menyempit dan meluap ke permukiman.
“Lebih dari 4.000 warga terdampak. Rumah hingga tempat ibadah sempat terendam banjir selama dua pekan,” ungkapnya.
Hermus menambahkan, kendala lain yang dihadapi pemerintah daerah adalah keterbatasan kewenangan.
“Kami hanya bisa koordinasi dengan aparat penegak hukum agar dilakukan penertiban. Jika perlu, kita tata melalui koperasi agar masyarakat juga bisa menikmati hasil secara legal,” katanya.
Sementara itu, Kapolda Papua Barat Irjen Pol Johnny Eddizon Isir menegaskan pihaknya konsisten menindak tambang ilegal, terutama yang menggunakan alat berat.
“Sepanjang ini belum ada izin, aktivitas pertambangan khususnya yang mempergunakan alat berat akan kita tindak.”
“Namun kalau pengambilannya tradisional, sementara ini kita masih berikan izin karena itu masyarakat setempat, jadi yang model mendulang silakan,” jelasnya.
Kapolda menambahkan, Polda Papua Barat sudah menindak sejumlah kasus dan memastikan tidak ada anggotanya yang terlibat.