Tentu saja wacana yang disampaikan oleh Gus Dur itu mendapat kecaman dan penolakan, bahkan Gus Dur dianggap sebagai tokoh yang pro-Israel.
Barangkali, gagasan Gus Dur, ketika itu, terlalu jauh ke depan, sementara Presiden Prabowo Subianto mengemukakanya dengan wacana lebih landai dan membawa harapan baru bagi semua. Meskipun demikian, gagasan dari Prabowo ini memerlukan waktu untuk meyakinkan Israel bahwa seluruh masyarakat dunia hanya menginginkan perdamaian, bukan untuk balas dendam.
Pernyataan Paus Leo XIV yang menunjukkan solidaritas Gereja Katolik dengan penderitaan yang dialami rakyat Gaza, juga bisa dialamatkan kepada seluruh negara dan rakyat yang selama ini memihak kepada Palestina. Paus mengatakan, "Tidak ada masa depan berlandaskan kekerasan, pengungsian paksa, atau pembalasan dendam".
Meskipun diksi pembalasan dendam itu ditujukan untuk membela penderitaan rakyat Palestina, barangkali imbauan itu juga bisa dialamatkan kepada negara-negara yang memihak pada perdamaian dunia, tidak memandang penyelesaian damai dua negara ini dengan motif dendam kepada Israel.
Kalau dalam konteks perseteruan personal antara dua orang, kita tidak membenci orang yang dianggap berbuat tidak baik kepada kita, tapi perilakuknya yang perlu diubah. Demikian juga dalam kita memandang negara Israel dan para pemimpinnya. Pesan inilah yang tersirat dalam pidata Prabowo di depan Sidang Umum PBB, dengan menegaskan akan mengakui Israel, jika Israel mengakui negara Palestina. (Oleh Masuki M. Astro)