CEPOSONLINE.COM, KEEROM – Ketua Dewan Adat Kabupaten (DAK) Keerom, Laurens Borotian, menegaskan bahwa Jack Mekawa tidak lagi memiliki kewenangan untuk berbicara maupun mengatasnamakan diri sebagai Ketua DAK Keerom.
Laurens menyayangkan sikap Jack yang beberapa hari terakhir mengeluarkan pernyataan publik seolah masih menjabat sebagai Ketua DAK. Menurut Laurens, status Jack kini adalah anggota DPRK Keerom jalur pengangkatan, sehingga secara aturan ia sudah bukan lagi bagian dari struktur DAK.
“Apa yang dilakukan saudara Jack Mekawa ini merupakan kesalahan besar, karena beliau berbicara bukan pada posisinya,” kata Laurens Borotian saat ditemui di Jayapura, Minggu (21/9/2025).
Laurens menjelaskan, sejak Jack mencalonkan diri sebagai anggota DPRK, ia sudah harus mengundurkan diri dari DAK sesuai ketentuan yang berlaku.
Kekosongan itu kemudian ditindaklanjuti oleh Dewan Adat Papua dengan mengeluarkan Surat Keputusan Pergantian Antar Waktu (PAW) Nomor: 002/C1/SK-DAP/VI/2025, yang menetapkan Laurens Borotian sebagai Ketua DAK Keerom pada 27 Juni 2025.
“Dengan dasar SK PAW itu, saya tegaskan jangan lagi suara DAK diperalat untuk kepentingan yang bukan ranahnya,” ujarnya.
Dukungan terhadap Laurens juga datang dari sejumlah tokoh adat lainnya. Dewan Pemangku Masyarakat Adat (DPMA) Keerom, Nickolaus Uriager, menilai posisi Jack Mekawa sudah jelas sebagai wakil rakyat, sehingga tidak tepat lagi mengklaim diri sebagai Ketua DAK.
“Setahu kami, DAK itu mitra pemerintah. Jadi tidak boleh diintervensi oleh siapa pun. Kalau diintervensi, DAK akan kehilangan fungsinya untuk memperhatikan masyarakat adat,” kata Nickolaus.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Adat Wilayah Skanto, Didimus Werare. Ia menegaskan, pihaknya tidak mengakui Jack sebagai Ketua DAK Keerom, karena keputusan resmi sudah ditetapkan oleh Dewan Adat Papua melalui SK PAW.
“Pada dasarnya kami tidak mengakui beliau sebagai Ketua DAK. Dasarnya jelas, yakni SK PAW yang sudah dikeluarkan Dewan Adat Papua,” ujar Didimus.
Dengan demikian, Dewan Adat Keerom menutup ruang perdebatan soal kepemimpinan dan meminta semua pihak menghormati keputusan resmi Dewan Adat Papua, serta tidak menjadikan lembaga adat sebagai alat kepentingan yang bukan fungsinya.(*)