Sempat Menjadi Alat Tukar Mas Kawin, Kini Jadi Penopang Ekonomi Keluarga
Pulau-pulau di Danau Sentani menyimpan banyak keunikan. Jika di Kampung Asei ada Ukiran Kulit Kayu, di Yoboi ada Papeda sedangkan di Kampung Abar ada Gerabah. Ini satu-satunya pulau yang punya potensi itu. Cenderawasih Pos akhir pekan kemarin main ke kampung ini
Laporan: Abdel Gamel Naser_Jayapura
Untuk sampai ke Kampung Abar, Distrik Ebungfauw Kabupaten Jayapura sejatinya tak sulit. Hanya untuk sampai kesana hanya bisa menggunakan speedboat mengingat lokasinya berada di pulau, tengah Danau Sentani. Yang terdekat adalah lewat Demaga Yahim, Sentani. Dan biaya sekali menggunakan speedboat adalah Rp 15.000/orang.
Disarankan untuk menuju lokasi pagi atau sore agar air lebih teduh bisa menyaksikan langsung nelayan yang sedang menebar jaring atau pancing. Sebelum menyeberang perlu dipastikan bekal makanan atau cemilan agar tidak kelaparan. Ini bisa dicari di Demaga Yahim dimana banyak pedagang local yang berjualan donat maupun tahu goreng atau buah-buahan sehingga tidak perlu repot mencari jauh-jauh.
Untuk satu perahu sendiri bisa memuat sampai 15 orang namun agar lebih safety disarankan maksimal 12 orang. Dan hanya membutuhkan waktu 5 – 7 menit untuk sampai ke Kampung Abar. Kesan pertama saat tiba di kampung ini adalah keramahan warga dan penggunaan bahasa asli masih sering dituturkan untuk berkomunikasi.
Selain gerabahnya, di Abar juga ada spot bird waching Cenderawasih yang berada di belakang gunung Abar. Aktifitas warga ada juga yang mencari ikan menggunakan kalawai atau tombak bermata besi. Jika sore, para generasi mudanya berolahraga bermain voli. Pembuatan gerabah di Abar ternyata sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Ini dikuatkan dengan temuan situs pecahan gerabah yang diyakini sudah berumur ratusan tahun.
Survei permukaan tanah di situs kampung Lama Abar, berhasil ditemukan pecahan gerabah. Hanya saja pecahan ini terbilang berbeda dengan gerabah yang dihasilkan oleh masyarakat Abar saat ini. Pecahan gerabah yang ditemukan di situs, terdapat dua jenis, berdinding tebal dan berdinding tipis. Gerabah berdinding tebal merupakan tempayan, pada masa lalu dipergunakan untuk menyimpan tepung sagu dan air.
"Saya generasi ke 17 jadi bisa dihitung sudah berapa lama gerabah ini mulai masuk dan dikenali warga,” kata Naftali Felle, salah satu tokoh masyarakat Kampung Abar yang juga Ketua Sanggar Titian Hidup saat ditemui, Sabtu (5/7). Naftali sendiri berusia 60 tahun.
Kata Naftali gerabah dulunya justru dijadikan sebagai mas kawin. Itu dikarenakan ketika jaman dulu banyak warga di Abar yang tidak memiliki ekonomi yang bagus sehingga tidak bisa membayar mas kawin dengan uang. "Jadi dulu ketika anak kami akan kawin atau mau masuk minta perempuan itu kami bawakan gerabah ini sebagai pengganti tomako batu dan situasi saat itu bisa dipahami pihak mempelai perempuan," ceritanya.
Awalnya, pembuatan gerabah hanya dilakukan oleh laki-laki bermarga Felle, namun seiring waktu, perempuan juga turut serta dalam proses pembuatannya. Dan jika dulu hanya dilakukan oleh mereka yang bermarga Felle, kini semua marga boleh melakukan.
Di Papua tradisi membuat gerabah ditemui di beberapa tempat, seperti di Kayu Batu (Jayapura), Abar (Sentani), Mansinam (Manokwari), Saberi (Sarmi), dan Kurudu (Teluk Cenderawasih). Akan tetapi yang masih bertahan/masih berlanjut produksinya dan dilestarikan hingga sekarang hanya berada di Abar, Sentani.
Uniknya, dulu ada kepercayaan membuat gerbah harus ditempat tertutup dan tak boleh diketahui orang sebab jika ketahuan nantinya gerabah tidak awet, mudah retak dan pecah. Lainnya adalah proses pembuatan tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang datang bulan atau sedang hamil, ini untuk menjaga kemurnian dari tanah liat itu sendiri. Di Abar ada 5 sanggar atau kelompok yang konsen dalam pembuatan gerabah.
Gerabah Abar biasa digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari, seperti wadah memasak, menyimpan makanan termasuk jika ada kegiatan besar biasanya menggunakan gerabah untuk diisi papeda, sayur, ikan maupun hasil kebun lainnya.