opini

Malaria Asimptomatik: Infeksi Senyap Bahaya Tersembunyi sebagai Sillent Reservoir Penghambat Eliminasi Malaria

Senin, 20 Mei 2024 | 01:24 WIB
Korinus Suweni, S.Kep., Ns., M.Sc

Provinsi Papua masih memiliki daerah endemis tinggi malaria, salah satunya adalah Kabupaten Keerom. Malaria masih menjadi tantangan kesehatan yang signifikan di Kabupaten Keerom, meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memerangi penyakit ini. Salah satu hambatan utama dalam mencapai eliminasi malaria adalah keberadaan kasus “Malaria Asimptomatik”. Malaria Asimptomatik merujuk pada kondisi di mana seseorang terinfeksi oleh parasit malaria tetapi tidak menunjukkan gejala klinis atau gejalanya ringan (seseorang tidak merasa sakit/infeksi senyap), sehingga tidak terdeteksi tanpa skrining aktif. Kasus-kasus ini tidak hanya sulit terdeteksi, karena orang yang terinfeksi dan mengalami malaria asimptomatik tidak menyadarinya, tetapi menjadi sumber penularan yang juga tidak terdeteksi (Sillent Reservoir). Hal ini menghambat usaha-usaha untuk mengendalikan penyebaran penularan dalam proses eliminasi malaria. Data beberapa negara endemis malaria di dunia menunjukkan 64-97% kasus malaria adalah malaria tanpa gejala (malaria asimptomatik). Di Indonesia  berkisar 80-90% kasus malaria adalah malaria asimptomatik. Beberapa masalah dalam menangani malaria asimptomatik, antara lain: Deteksi yang tidak efektif, Keterbatasan infrastruktur dan aksesibilitas, Kurangnya kesadaran Masyarakat, kehadiran vektor yang persisten, Perubahan iklim dan lingkungan, Keterbatasan sumber daya serta Ketidakstabilitas politik dan sosial. Untuk mengatasi masalah ini, sejumlah rekomendasi kebijakan telah diusulkan, yang meliputi Penguatan sistem deteksi temukan dan atasi sampai tuntas, peningkatan aksesibilitas layanan kesehatan, surveilans, edukasi masyarakat, serta penggunaan teknologi komunikasi Informasi untuk pemantauan dan pelaporan, namun sampai saat ini, Kabupaten Keerom masih menjadi daerah Endemis tinggi malaria. Penggunaan Komunikasi Informasi menjadi peran kunci, dimana diharapkan mengedukasi masyarakat memahami bahaya malaria asimptomatik sebagai penular senyap (sillent Reservoir) dan menumbuhkan motivasi masyarakat untuk deteksi dini malaria asimptomatik, sehingga akan membantu Kabupaten Keerom mencapai target eliminasi malaria sesuai dengan komitmen nasional maupun global dalam agenda Substainable Development Goals (SDGs) tahun 2030.

Oleh: Korinus Suweni, S.Kep., Ns., M.Sc

Kondisi dan Masalah

Target Indonesia bebas malaria pada tahun 2030, sesuai tujuan dari Program Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Sustainable Development Goals (SDG’s) pada indikator ketiga dengan target untuk terbebas dari penyakit AIDS, tuberkulosis, malaria dan penyakit tropis yang terabaikan. Malaria adalah penyakit yang mematikan bagi kelompok rentan seperti bayi, balita, dan ibu hamil. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah mengambil langkah stategis dengan menargetkan pengurangan insiden dan mortalitas akibat malaria sebesar setidaknya 90% dan  mengeliminasi malaria di minimal 35 negara endemis pada tahun 2030.

Adapun tren kasus malaria tertinggi di Indonesia terjadi pada tahun 2012 dengan jumlahkasus mencapai 417.819 kemudian mengalami penurunan pada tahun 2018 menjadi 222.084 kasus. Pada  tahun 2022 kembali mengalami peningkatan kasus sebanyak 445.530 kasus, dan 89% (393.801 Kasus) berasal dari Provinsi Papua. Kasus pada tahun 2023 mengalami penurunan terdapat 133.474 kasus dan sebanyak 114.407 (86%) berasal dari Propinsi Papua. Angka morbiditas malaria, yakni mengukur rasio kasus malaria yang terkonfirmasi terhadap jumlah penduduk berisiko per seribu orang, ditunjukkan dengan indikator Annual Parasite Incidence (API).  API Indonesia pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2020 berhasil ditekan dibawah 1 per 1.000 penduduk. Namun, pada tahun 2016 API mengalami peningkatan hingga 1,6 per 1.000 penduduk, dan pada tahun 2022, Provinsi Papua menduduki API malaria tertinggi di Indonesia sebesar 113,07 per 1.000 penduduk. Angka ini sejalan bahwa Provinsi Papua adalah provinsi dengan banyaknya kabupaten/kota merupakan wilayah dengan status endemis tinggi. Ada 8 daerah di Provinsi Papua yang menyumbang kasus malaria tertinggi yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Mimika, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mamberamo Raya, Kepulauan Yapen dan Kabupaten Keerom. Hal ini dibutuhkan upaya percepatan untuk menurunkan kasus malaria secepatnya terutama pada 8 Kabupaten/Kota termasuk Kabupaten Keerom. Komitmen Pemerintah Kabupaten Keerom melalui Peraturan Daerah Kabupaten Keerom No. 27 Tahun 2021 Upaya percepatan Eliminasi Malaria di Kabupaten Keerom. Berbagai upaya percepatan penurunan kasus malaria telah dilakukan yaitu surveilans  menemukan dan mengobati kasus malaria secara tuntas,  melakukan upaya pengendalian vektor (kelambu, penyemprotan, manajemen lingkungan) dan meningkatkan komitmen stake holder serta masyarakat. Salah satu hambatan dalam upaya percepatan penurunan kasus malaria adalah keberadaan kasus malaria tanpa gejala (malaria asimptomatik). Berkisar 80-90% Kasus malaria yang ditemukan adalah malaria tanpa gejala (malaria asimptomatik). Hal ini sebagai infeksi senyap dan penular diam yang sangat berbahaya menularkan tanpa terdeteksi, dari orang yang mengalami malaria asimptomatik kepada orang yang berada disekitarnya. Orang yang mengalami malaria asimptomatik (tanpa gejala) tidak merasa sakit, sehingga tidak berobat atau periksa malaria, tetapi akan menjadi sumber penularan malaria selama belum terdeteksi dan ditangani. Faktor yang sangat mempengaruhi seseorang tidak menyadari dan memeriksa dirinya ke layanan Kesehatan adalah kurang informasi dan pengetahuan bagi Masyarakat.

Untuk itu, dalam penulisan artikel ini, saya fokus mengangkat satu isu krusial yang perlu diperhatikan dalam menghentikan penularan malaria dan mengurangi kejadian parasit malaria, yakni pentingnya literasi bahaya malaria tanpa gejala (malaria asimptomatik) bagi seluruh lapisan masyarakat.  Masalah malaria asimptomatik menjadi tantangan yang sulit terhadap penularan malaria yang tidak terdeteksi khususnya di Kabupeten Keerom, karena hanya orang yang merasa sakit saja yang memeriksakan diri dan berobat ke layanan kesehatan, tetapi yang tidak merasa sakit tidak akan datang berobat atau memeriksakan diri di layanan kesehatan, sedangkan malaria asimptomatik akan tetap menjadi sumber penularan yang diam diantara masyarakat sekitar.  Hal ini menyebabkan penyebaran penularan yang tidak terkontrol, kejadian malaria meningkat dan menghambat program eliminasi malaria di Kabupaten Keerom.

Rekomendasi

Penanganan malaria tanpa gejala (malaria asimptomatik) dalam upaya menuju eliminasi malaria di Kabupaten Keerom, menjadi isu sentral yang sangat penting dan mendesak untuk ditangani. Untuk mengatasi hambatan dan tantangan ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, organisasi non-pemerintah, masyarakat lokal, serta pihak-pihak lain yang terlibat. Penguatan sistem deteksi dini, peningkatan aksesibilitas layanan kesehatan, edukasi masyarakat, penggunaan teknologi untuk pemantauan dan pelaporan, serta upaya pengendalian vektor yang berkelanjutan merupakan beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah malaria asimptomatik dan mendukung program eliminasi malaria di Kabupaten Keerom, Papua. Penanganan malaria asimptomatik menjadi penting untuk mencegah penularan lebih lanjut dan mengurangi beban penyakit. Ada beberapa strategi menjadi rekomendasi dalam penanganan malaria asimptomatik, yaitu :

  1. Penguatan Sistem Deteksi Dini Malaria Asimptomatik:
    1. meningkatkan upaya surveilans aktif, termasuk penggunaan teknologi informasi untuk memfasilitasi pelaporan dan analisis data yang lebih cepat
    2. Pelatihan Tenaga Kesehatan : Memberikan pelatihan intensif kepada tenaga kesehatan tentang teknik deteksi dini dan identifikasi malaria asimptomatik
    3. Peningkatan Infrastruktur Laboratorium: Melengkapi laboratorium dengan alat diagnostik modern, seperti mikroskop berkualitas tinggi dan perangkat diagnostik cepat (RDT).
    4. Surveilans berbasis komunitas: Melibatkan komunitas dalam surveilans aktif melalui kader kesehatan dan program deteksi di lapangan.
    5. Melakukan pemantauan rutin, termasuk kunjungan rumah dan pemeriksaan periodik di tempat-tempat berkumpulnya penduduk.
  1. Optimalisasi Sumber Daya:
    1. Kerja sama dengan pihak terkait untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya dan infrastruktur kesehatan yang diperlukan untuk mengatasi malaria, termasuk pengadaan obat-obatan dan alat diagnostik yang memadai.
    2. Kolaborasi multisector: Kemitraan dengan sektor swasta, Lembaga penelitian dan organisasi internasional untuk mendapatkan dukungan finansial dan teknis serta integrasi dengan program Kesehatan lain untuk deteksi dini malaria seperti program HIV/AIDS, TB, dan kesehatan ibu-anak
    3. Penguatan system informasi dan data melalui pengembangan system informasi terpadu untuk melacak kasus malaria secara real-time dan analisis data berbasis epidemiologi guna memetakan daerah berisiko tinggi dan menargetkan intervensi yang lebih efektif.
    4. Dukungan Kebijakan dan pendanaan melalui advokasi kebijakan yang mendukung penguatan deteksi dini malaria asimptomatik serta memastikan alokasi anggaran yang memadai untuk program deteksi dan pencegahan malaria.
  2. Literasi malaria asimptomatik dalam Kampanye Edukasi Masyarakat:
    1. Penyebaran informasi melalui media massa, seperti Radio, Televisi dan media social untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya skrining malaria secara berkala, serta tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko penularan
    2. Edukasi dan Penyuluhan melalui kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria asimptomatik, pentingnya deteksi dini dan pencegahan malaria serta menyebarkan materi penyuluhan di berbagai media, termasuk media sosial, untuk menjangkau lebih banyak orang.
    3. Kegiatan Edukasi di Komunitas, seperti penyuluhan kesehatan di sekolah-sekolah, kantor-kantor swasta maupun pemerintah, Tempat-tempat ibadah dan kelompok-kelompok diskusi di Masyarakat

Dengan mengimplementasikan rekomendasi ini, Kabupaten Keerom dapat mengambil langkah konkrit menuju eliminasi malaria dan mencapai target yang ditetapkan dalam agenda nasional dan Sustainable Development Goals (SDGs).

*) Korinus Suweni, S.Kep., Ns., M.Sc, Dosen Poltekkes Kemenkes Jayapura, Mahasiswa Doktoral pada Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

Tags

Terkini

Membangun Fondasi dan Identitas Pegunungan Papua

Kamis, 2 Januari 2025 | 13:17 WIB

Pengisian Anggota DPRP Jalur Pengangkatan

Kamis, 28 November 2024 | 10:45 WIB

BAYI YESUS

Kamis, 21 Desember 2023 | 19:10 WIB

MEMAHAMI SUASANA KEBATINAN ORANG ASLI PAPUA

Minggu, 19 April 2020 | 23:19 WIB

Dialog Sektoral untuk Asmat

Jumat, 27 April 2018 | 14:05 WIB