Suatu waktu kitong (Persipura) ada main malam sekitar tahun 80an di Jakarta. Paginya, Hengky Heipon panggil kitong untuk kumpul di lapangan segitiga situ. Waktu itu Hengky bilang begini: “Nanti malam kitong akan bertanding. Ini final! Buatlah anak-anak Papua yang mungkin hari ini dia ada di pedalaman Kalimantan atau Sumatera sana, dimanapun! Buatlah agar besok pagi semua orang melihat dia. Kalau kitong menang, betapa bangganya dia. Dia akan berdiri dengan dada terbuka. Jangan buat semua orang mengejek dia!”
Catatan Lapangan; wawancara dengan Benny Yensenem (Pemain Persipura Jayapura, Tahun 70-an)
Penulis: Fred Keith Hutubessy *)
Sejak beberapa bulan terakhir melakukan penelitian di Jayapura, saya tidak pernah melewatkan pertandingan tim-tim sepak bola dari Tanah Papua. Dari menyaksikan laga PSBS Biak di Stadion Lukas Enembe, hingga Persewar Waropen di Stadion Mandala. Tentunya datang ke stadion adalah cara memberi dukungan kepada setiap tim Papua yang bertanding. Setiap pertandingan selalu memiliki atmosfer yang khas, penuh dengan semangat dan antusiasme suporter. Namun, tidak ada yang lebih saya nantikan selain momen ketika tim kebanggaan, Persipura Jayapura, turun ke lapangan. Sorak-sorai dari tribun, dentuman perkusi yang mengiringi setiap serangan, serta yel-yel suporter yang menggema di seluruh stadion menciptakan suasana yang tak tergantikan. Begitu wasit meniup peluit kick-off, seluruh perhatian tertuju pada permainan Persipura.
Sambil memandang lautan biru menghadap Samudera Pasifik, dari pantai Dok 2 saya menulis artikel ini saat Persipura mungkin sedang mempersiapkan tim menjalani laga Play Off degradasi Liga 2 melawan Persibo Bojonegoro. Pertandingan ini merupakan ujian sejarah. Namun, bukan sekadar perebutan tiket untuk bertahan di kasta kedua sepak bola Indonesia, tetapi juga menjadi cerminan dari sebuah harapan. Ya, tentunya simbol harapan, identitas, dan perjuangan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di setiap tendangan dan serangan yang mereka lakukan, ada semangat yang tak pernah padam. Tentu semangat yang dulu membuat anak-anak Papua bermimpi menjadi bagian dari tim ini, dan semangat yang kini kembali membakar asa untuk melihat Persipura kembali ke tempat yang akan seharusnya mereka tempati.
Kam itu Kitong Pu Mimpi: Persipura dan Harapan Anak-anak Papua
Persipura Jayapura adalah potret dari jejak harapan setiap anak-anak di Papua yang bercita-cita menjadi pesepakbola. Secara pribadi, saya pertama kali mengenal tim ini pada medio 90-an. Nama-nama seperti Chris Yarangga, Ronny Wabia, Pieter Werbabkay, Eduard Ivakdalam, dan Helconi Harmain menjadi idola bagi banyak anak, termasuk saya masa itu. Tim ini terus berkembang dan mencatatkan sejarah gemilang di sepak bola Indonesia. Persipura Jayapura telah menjuarai Liga Indonesia beberapa kali, menunjukkan dominasinya sebagai salah satu klub terbaik di tanah air. Mereka meraih gelar juara Liga Indonesia pada 2005, 2008–2009, 2010–2011, dan 2013, serta menjadi runner-up dalam beberapa musim lainnya. Keberhasilan ini tidak hanya membuktikan kualitas permainan mereka, tetapi juga mengukuhkan Persipura sebagai simbol kebanggaan masyarakat Papua. Dengan gaya permainan cepat dan menyerang, tim ini menjadi inspirasi bagi banyak generasi muda Papua yang bermimpi mengikuti jejak para legenda yang pernah membela Persipura. Bagi penggemar, setiap pertandingan bukan sekadar tontonan, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari yang penuh dengan antusiasme dan kebersamaan. Kini, mengenang masa-masa itu, saya menyadari betapa dalamnya jejak yang ditinggalkan Persipura dalam perjalanan kami yang mencintainya.
Menyaksikan Persipura bertanding secara langsung di stadion adalah sebuah kebahagiaan tersendiri dan momen yang dinanti-nantikan oleh banyak orang. Pada masa itu, jika Persipura bertanding pada hari kerja, atmosfer di kota pun ikut berubah. Tak jarang, aktivitas perkantoran selesai satu hingga dua jam lebih awal, sementara sekolah-sekolah yang berada di sekitar stadion membiarkan siswanya pulang lebih cepat. Apabila Persipura memenangkan pertandingan, semua orang bersukacita. Sekalipun bagi mereka yang tidak membawa kendaraan pribadi harus pulang dengan berjalan kaki karena sulitnya mendapatkan transportasi di sekitar Stadion Mandala, namun hal itu bukanlah masalah. Jalanan yang penuh sesak oleh para suporter yang bersorak gembira justru menambah kesan kebersamaan dan cerita tentang jalannya pertandingan terus dibahas sepanjang perjalanan pulang.
Persipura dicintai oleh semua kalangan, tanpa memandang usia. Dari anak-anak hingga orang tua, semua berbondong-bondong datang ke stadion untuk menyaksikan tim kebanggaan mereka bertanding. Pemandangan di sekitar stadion pun selalu menarik. Ada yang mengenakan seragam PNS karena langsung datang dari kantor, ada pula anak-anak sekolah yang masih berseragam, bergegas agar tidak melewatkan pertandingan. Sementara itu, bagi kami anak-anak kecil pada masa itu, masuk ke stadion bukanlah hal yang mudah. Tidak semua dari kami memiliki cukup uang untuk membeli tiket, tetapi kecintaan terhadap Persipura selalu menemukan jalannya. Dengan koran bekas sebagai alas duduk di rumput dan mengharapkan kebaikan hati orang lain untuk menggenggam tangan, saya dan beberapa teman menggunakan alternatif ini untuk masuk melewati penjagaan pintu stadion untuk menyaksikan kebanggan bertanding.
Kisah Rudolof Yanto Basna adalah bukti nyata betapa besar kecintaan anak-anak Papua terhadap Persipura. Saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Yanto kecil melakukan sesuatu yang luar biasa demi menyaksikan tim idolanya bertanding. Ia berenang dari Dok 7 Perikanan menuju belakang Stadion Mandala, hanya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mengangkat bajunya agar tetap kering. Semua itu ia lakukan hanya demi bisa melihat langsung laga Persipura Jayapura melawan Persib Bandung. Ironisnya, sekitar satu dekade setelah peristiwa itu, Yanto justru menjadi salah satu pesepakbola Papua yang memperkuat skuad Persib Bandung, tim yang dulu ia sempat saksikan ketika menghadapi Persipura. Kisah ini bukan hanya tentang tekad dan cinta terhadap sepak bola, tetapi juga tentang bagaimana mimpi seorang anak Papua bisa menjadi kenyataan melalui kerja keras dan dedikasi.
Mimpi anak-anak Papua turut bertransformasi seiring dengan perkembangan Persipura dari waktu ke waktu. Anak-anak yang menyaksikan Persipura di tahun 90-an, hingga medio 2000 bercita-cita menjadi seperti Eduard Ivakdalam. Ia seorang gelandang elegan yang begitu mencintai Papua dan menjadi simbol kejayaan Persipura di eranya. Ia bukan sekadar pemain, tetapi juga panutan yang menunjukkan bahwa anak Papua bisa bersinar di level tertinggi sepak bola Indonesia. Seiring waktu, muncul nama-nama yang menginspirasi generasi berikutnya, salah satunya Boaz Solossa. Dengan kecepatan, ketajaman, dan kepemimpinannya di lapangan, Boaz bukan hanya menjadi ikon Persipura, tetapi juga representasi kegigihan dan talenta Papua. Tak sedikit dari mereka yang tumbuh dengan mengidolakan Boaz akhirnya berhasil meniti karier sebagai pemain profesional. Nama-nama seperti Todd Ferre, Ricky Cawor, dan Ricky Kambuaya adalah bukti bahwa mimpi itu nyata dan dapat diraih dengan kerja keras. Sepak bola di Papua bukan sekadar permainan atau hiburan, tetapi sebuah perjalanan hidup dan jalan yang menghubungkan anak-anak dengan mimpi mereka, memberi harapan, dan membuktikan bahwa dengan dedikasi, mereka bisa mencapai apa pun yang mereka impikan.