Jakarta, 02/9 (ANTARA) - Langkah Presiden RI Prabowo Subianto yang menyatakan akan memberi kenaikan pangkat kepada polisi yang cedera saat mengamankan demonstrasi, belakangan ini, patut dicermati secara lebih mendalam.
Pernyataan tersebut tidak bisa sekadar dipahami sebagai kebijakan simbolis, tetapi juga sebagai strategi politik dan sosial untuk menjaga moral aparat keamanan di tengah situasi negara yang sedang bergejolak.
Fakta di lapangan menunjukkan banyak aparat kepolisian mengalami luka serius, ketika berhadapan dengan massa dalam demonstrasi yang berubah menjadi ricuh. Tidak sedikit di antara mereka yang mengalami cacat permanen, bahkan ada yang terbakar organ vitalnya.
Kondisi ini membuat semangat aparat terpengaruh secara psikis. Publik pun merasakan, kehadiran polisi di berbagai titik semakin minim. Kantor-kantor kepolisian dan pos jaga menjadi sasaran amuk pembakaran dan beberapa sudah hangus terbakar.
Fenomena ini berbahaya, karena ketika aparat mundur, kekosongan negara dalam menjaga ketertiban justru membuka peluang lebih besar bagi tindakan yang anarkis. Masyarakat luas bisa kehilangan rasa aman, sementara kelompok perusuh leluasa menguasai ruang publik.
Karena itu, kebijakan Presiden Prabowo memberi penghargaan kepada aparat yang cedera merupakan bentuk intervensi moral: mengembalikan kepercayaan diri polisi bahwa negara berdiri bersama mereka.
Presiden tidak hanya berbicara tentang piagam atau tanda jasa. Lebih jauh, ia menekankan soal kenaikan pangkat bagi anggota yang menjadi korban. Hal ini memiliki implikasi nyata karena pangkat terakhir akan menentukan besaran pensiun.
Bagi polisi yang tidak bisa lagi bertugas akibat cacat permanen, kebijakan ini berarti jaminan keberlangsungan hidup keluarga. Dengan demikian, penghargaan tersebut bukan sekadar penghormatan simbolis, melainkan instrumen kesejahteraan jangka panjang.
Kebijakan ini menunjukkan pemahaman Presiden bahwa moral aparat tidak bisa dipisahkan dari aspek material. Jika aparat merasa masa depan mereka dan keluarga terjamin, mereka akan tetap setia menjaga keamanan, meskipun risiko di lapangan sangat besar.
Strategi Prabowo dengan memberikan penghargaan kepada para polisi membuktikan bahwa Presiden memiliki empati yang tinggi terhadap para korban. Banyak polisi yang sesungguhnya membutuhkan perlindungan dan perhatian karena selama demonstrasi berlangsung cenderung dipojokkan dan diberi stigma sebagai public enemy di lapangan.
Korban sipil
Di balik semua itu, ada dimensi lain yang tidak boleh dilupakan: keadilan bagi korban sipil. Dalam berbagai peristiwa ricuh, tidak hanya polisi yang menjadi korban, tetapi juga masyarakat biasa, ASN, mahasiswa, hingga pelajar. Mereka juga menanggung luka fisik maupun trauma psikologis.
Dalam konteks ini, apresiasi negara seharusnya tidak berhenti pada aparat keamanan. Korban sipil pun patut mendapat perhatian dan kompensasi. Bentuknya tentu berbeda, jaminan kesehatan penuh, santunan, atau beasiswa pendidikan bagi anak korban.
Presiden Prabowo sendiri telah memberi contoh, ketika menyerahkan rumah untuk keluarga almarhum Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring yang meninggal dalam peristiwa unjuk rasa itu. Sikap ini patut dipandang sebagai preseden penting, bahwa negara hadir bagi semua korban, bukan hanya korban dari aparat, namun juga korban dari pihak sipil.