CEPOSONLINE.COM, JAYAPURA - Tingkatkan pengetahuan tentang penyakit menular di Papua 45 peneliti dan praktisi kesehatan dari institusi lokal dan internasional ikuti kegiatan lokakarya di Hotel Horison Sentani, Kab Jayapura, selama empat hari Senin-Kamis (13–16/10/2025).
Kegiatan bertema “Pemodelan Penyakit Infeksi untuk Riset dan Kebijakan Kesehatan” didanai SPARKLE (Strengthening Preparedness in the Asia-Pacific Region through Knowledge, Learning and Education).
Kegiatan ini bagian dari program “Strengthening Health Initiatives for Eliminating Infectious Diseases in (Shield) Papua” yang berfokus, penguatan sains untuk eliminasi penyakit menular di Papua. Kolaborasi dengan institusi lokal dan internasional seperti Universitas Cenderawasih (Uncen), Oxford University Clinical Research Unit Indonesia (OUCRU ID), dan Indonesia Infectious Disease Modelling Community (INDEMIC).
SPARKLE adalah konsorsium internasional berbasis di Peter Doherty Institute for Infection and Immunity di University of Melbourne, Australia, dibangun untuk meningkatkan pengetahuan pendidikan.
Para peserta dan narasumber berasal dari Uncen, Dinkes Papua, Balai Laboratorium Kesehatan Masyarakat Papua, OUCRU ID, National University of Singapore, Monash University Indonesia, BRIN, UNICEF dan WHO, serta Koalisi Bersama Lawan Dengue (KOBAR).
Uncen menjadi tuan rumah kegiatan ini. Melalui fakultas kesehatan, matematika, dan ilmu alam. “Uncen berkomitmen menjadi pusat pengembangan sains, relevan dengan kebutuhan masyarakat. Inisiatif seperti ini memperkuat peran Uncen dalam membangun kapasitas lokal dan memastikan berkontribusi aktif dalam riset dan pengambilan keputusan di tingkat nasional maupun global," kata Dr. Dirk YP. Runtuboy, Wakil Rektor I Bidang Akademik Uncen, Senin (13/10/2025).
Ditempat sama, Prof. Hasmi dosen senior Fakultas Kesehatan Masyarakat Uncen, menegaskan lokarya ini akan memberikan dampak langsung pada kapasitas riset di Papua. “Papua itu unik dan kompleks. Wilayah luas, keterbatasan infrastruktur, dan variasi ekologi yang ekstrem membuat distribusi penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis, HIV/AIDS, demam berdarah berbeda dengan daerah lain di Indonesia," jelasnya.
Sementara, Dr. Iqbal Elyazar, Ketua Inisiatif SHIELD Papua sekaligus Kepala Program Geospatial Epidemiology OUCRU Indonesia menjelaskan pemodelan matematis menjadi alat membantu peneliti dalam membuat kebijakan untuk memahami bagaimana penyakit menular menyebar, memprediksi dampak intervensi, dan menentukan strategi paling efektif sebelum diterapkan.
“Melalui pemodelan, kita dapat memahami pola penularan penyakit, mengoptimalkan intervensi kesehatan sesuai dengan konteks Papua," ujarnya. Sebutnya kedepan kolaboratif antara lembaga riset, universitas, dan pemerintah daerah akan bermunculan. Diharap Papua menjadi pusat keunggulan baru dalam riset pemodelan penyakit menular di Indonesia.
Pendapat berbeda disampaikan Dr Bimandra Djaafara, ketua fasilitator dari INDEMIC dan peneliti di National University of Singapore menyatakan lokakarya memiliki nilai strategis bagi kapasitas ilmiah di Papua. “Lokakarya menjadi awalan merintis jejaring riset pemodelan penyakit menular di Papua. Para peneliti dapat berkolaborasi lintas disiplin untuk menjawab masalah kesehatan di Papua. Kemitraan peneliti dan pembuat kebijakan perlu dieratkan. Pemodelan tidak henti di publikasi ilmiah, tetapi digunakan juga dalam perencanaan dan evaluasi," terangnya.
Assoc. Prof Henry Surendra, PhD peneliti dan Kepala Program Magister Kesehatan Masyarakat, Monash University Indonesia, menekankan kegiatan ini bukan sekadar pelatihan teknis, tetapi juga investasi jangka panjang sains di Papua. “Papua perlu generasi ilmuwan dan analis kebijakan yang mampu berbicara dengan bahasa yang sama bahasa data, model, dan bukti ilmiah,” tutupnya. (*)