• Senin, 22 Desember 2025

Bantuan Sosial Tak Lagi Terima Sejak 2024, Anak-anak Keluarga di Argapura ini Banyak yang Tak Bisa Sekolah

Photo Author
- Jumat, 12 September 2025 | 09:14 WIB
Konstanta Watori bersama anak anaknya yang sedang duduk di pelataran rumah, di Argapura, Kamis (11/9).(Ceposonline.com/Carolus Daot)
Konstanta Watori bersama anak anaknya yang sedang duduk di pelataran rumah, di Argapura, Kamis (11/9).(Ceposonline.com/Carolus Daot)

CEPOSONLINE.COM, JAYAPURA-Di tengah banyaknya program bantuan sosial dan juga program sekolah gratis pemerintah pusat hingga pemerintah kota, nampaknya belum menjangkau semua masyarakat yang benar-benar butuh bantuan. Salah satunya, keluarga Wellem Tomasa di Argapura Distrik Jayapura Selatan. 

   Kamis (11/9/2025) sore itu, ketika matahari hendak bersembunyi di balik awan, tampak sebuah pemandangan sederhana namun penuh makna. Seorang perempuan tersenyum hangat sambil menggendong anak kecil di pelukannya.

   Di sekitarnya, anak-anak lain berlarian riang meski di tengah kesederhanaan hidup. Perempuan itu adalah Konstanta Watori, istri dari Wellem Tomasa. Pasangan ini tinggal di Jalan Nangka No. 29, Santarosa, RT 002/RW 008, Bukit Argapura, Jayapura Selatan.

   Dari rumah semi permanen yang rapuh, mereka berjuang membesarkan sembilan anak, bersama menantu, cucu, om, keponakan, dan mertua total 17 jiwa hidup di bawah satu atap sederhana itu.

  Rumah warisan orang tua Konstanta itu berdiri di atas tanah yang sempit. Dindingnya sisi kiri kananya ditambal dengan papan bekas, atap bocor di sana-sini, dan bangunannya sudah rapuh.

  Tiga kamar sederhana harus berbagi dengan tiga kepala keluarga. Ada ruang tamu kecil, dapur seadanya, serta kamar mandi yang airnya diperoleh dari tetangga dengan sistem patungan.

   "Dalam rumah ini ada saya, suami, sembilan anak, dua cucu, om dengan dua anaknya, dan mama saya. Jadi 17 orang tinggal bersama,” kata Konstanta kepada Cenderawasih Pos, Kamis (11/9).

  Konstanta bukan perempuan biasa. Sejak usia 9 bulan, tubuh bagian kirinya mulai kaki hingga tangannya lumpuh. Namun, dengan kondisi itu, ia tetap berjualan pinang, rokok, dan sayur di emperan Pasar Sentra Hamadi.

  Setiap hari, ia duduk di lantai pasar, berjuang dengan satu tangan, sambil menahan nyeri tubuh yang tak lagi kuat. Penghasilannya tak menentu. Kadang Rp50 ribu, bila beruntung bisa Rp150–200 ribu. Itu pun harus dipotong karcis Rp10 ribu per hari.

   "Saya beli pinang dari orang, baru jual lagi. Kalau laku banyak, bisa dapat dua ratus ribu. Kalau sepi, paling enam puluh ribu," ujarnya.

Sementara Wellem, sang suami, bekerja serabutan sebagai buruh porter di Pelabuhan Jayapura. Tak ada gaji tetap, hanya upah seadanya. Karena penghasilan kecil, sebagian besar anak mereka tak bisa bersekolah.

  Otto Geisler, anak pertama, ikut bekerja serabutan di bangunan. Adrian, anak kedua, terpaksa berhenti sekolah sejak kelas 5 SD karena kehilangan rapor dan tak bisa pindah sekolah. Ia kini bekerja di bengkel.

  Anak ketiga, Aplena, sudah menikah di usia sekitar 15 tahun tahun dan kini memiliki dua anak. Windi (14 tahun), anak keempat, masih sekolah SMP, tetapi tunggakan uang sekolahnya belum terbayar. "Windi sekarang tinggal dengan omnya, tapi uang sekolah tetap kami yang bayar," tuturnya.

  Anak kelima, Mince, baru berusia 11 tahun, disusul Maria (9 tahun), Dani (7 tahun) sama sekali belum masuk SD, dan anak ke delapan Linda (4 tahun), dan si bungsu Alek yang masih berusia 1 tahun

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Agung Trihandono

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ringroad Longsor Lagi, Akses Ditutup Total

Kamis, 11 Desember 2025 | 08:01 WIB
X