Tak ayal, berangkat dari pengalaman inilah, Frits menyerukan pembentukan tim untuk merinci rencana amnesti yang akan diberikan.
“Presiden harus membentuk semacam tim dan mengawali kerjanya dengan assessment (penilaian),” ungkapnya.
Tim yang dimaksud, sambung Frits, harus beranggotakan orang-orang yang memiliki akses dan pengalaman, dan bisa diterima banyak pihak.
“Ini penting, karena di masa SBY dan Jokowi (Presiden ke-7 RI, Joko Widodo) membentuk tim, tapi hanya mengulangi penekanan pembangunan yang sudah dikerjakan kementerian dan dinas teknis, sehingga tidak menyentuh substansi penyelesaian HAM.”
“Oleh karenanya, Komnas HAM menyambut baik niat Presiden Prabowo, bahkan kami bersedia membantu Presiden Prabowo untuk terlibat dalam proses assessment yang dimaksud,” katanya.
Baca Juga: Ledakan Bom Molotov di Kantor Media Jubi, Komnas HAM: Tamparan Keras bagi Polda Papua
Disebutkan, assessment diperlukan untuk menentukan arah dan pola, sehingga pemberian amnesti bisa tepat sasaran dan keberlanjutannya juga diperhatikan.
“Misalnya, KKB yang pegang senjata, dan terlibat menembak langsung, dan yang tidak.”
“Karena kalau kita lihat KKB di Papua, senjata itu milik pereorangan, bukan milik kelompok atau komandonya, sehingga kita perlu assessment,” ujarnya.
Kemudian, mereka yang jadi simpatisan tentu mendapat pengampunan berbeda dengan mereka yang menjadi pelaku langsung.
“Ini juga untuk menjaga keseimbangan dari penghormatan HAM itu sendiri,” terangnya.
Tim yang melakukan assessment ini juga perlu memperhatikan kehidupan eks tahanan politik di masyarakat.
“Diperhatikan setelah satu tahun mereka keluar, bagaimana mereka survive?”
“Karena di Papua ini labeling, stigma, tuduhan, maupun diskriminasi itu kuat.”
“Misalnya dia mantan OPM, sehingga ketika diberi bantuan oleh kepala kampung setempat, malah kepala kampung dituduh mendukung (KKB/OPM) dan lain sebagainya. Stigma-stigma ini yang perlu diperhatikan,” jelasnya.