Masuk Benteng Karangbolong seperti Mengitari Labirin
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808–1811) galau. Dia bingung menentukan lokasi pangkalan armada laut Belanda di Jawa. Antara Batavia, Surabaya, atau Cilacap. Berikut lanjutan catatan wartawan Jawa Pos GUNAWAN SUTANTO dari Nusakambangan.
Kegalauan Daendels itu tercatat dalam buku Oud Soerabaia karya penulis terkenal Belanda Von Faber. Kisah tersebut kemudian dikutip sejarawan Ady Setiawan dalam bukunya, Benteng-Benteng Surabaya.
Menurut Ady, Cilacap, Jawa Tengah, sejak zaman Belanda sudah menjadi kota penting. Pelabuhan di sana memiliki posisi paling dekat ke Australia.
Apalagi, pelabuhan di sana terlindungi oleh bentang alam Pulau Nusakambangan. Pulau tersebut menjadi penghalang gelombang Samudra Hindia. Karena itu, Daendels akhirnya memutuskan untuk membangun benteng-benteng pertahanan di pulau tersebut.
Ada tiga benteng yang dibangun dalam jarak yang tak berjauhan. Yakni, Benteng Karangbolong dan Benteng Klingker (keduanya di Nusakambangan) serta Benteng Pendem di daratan Cilacap. Benteng-benteng itu ditempatkan sedemikian rupa agar bisa melindungi sekaligus menggempur musuh dari segala penjuru.
Dalam ekspedisi penelusuran gua dan benteng di Nusakambangan bersama unit Intel Lanal Cilacap, rombongan melihat dari dekat seperti apa Belanda membangun sistem pertahanannya zaman dulu. Kami juga merekonstruksi beberapa foto masa lalu benteng-benteng itu seperti yang dimiliki Ady Setiawan dari arsip pemerintah Belanda.
Penelusuran pada hari kedua kami lakukan di Benteng Karangbolong yang terletak di ujung timur Nusakambangan. Kami berangkat dari Cilacap dengan menggunakan perahu motor. Melintasi kapal-kapal pengangkut minyak Pertamina. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai di bibir pantai.
Setelah itu, kami menuju Benteng Karangbolong yang aksesnya sudah gampang. Maklum, benteng tersebut sering jadi jujukan para pelancong. Meski sebenarnya benteng itu tidak dibuka sebagai tempat wisata. Dari pantai segara anakan menuju benteng bisa ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 1,5 km. Waktu tempuhnya 15–20 menit.
Posisi benteng itu agak naik di perbukitan. Tetapi, ada jalan setapak menuju ke sana. Jalannya sudah bagus, tidak seperti jalan menuju gua di Cimiring.
Begitu memasuki kompleks benteng, kami bagaikan masuk dalam lorong waktu. Sebab, vegetasi di sekitar benteng dibiarkan alami. Pohon-pohon besar dan tua dengan akar-akar yang menjuntai di permukaan tanah tersebar di kanan-kiri benteng.
Beberapa bagian benteng masih utuh. Namun, sebagian lainnya sudah tergerus alam. Pintu dan kerangka dari besinya sudah hilang. Meriam yang biasanya ada di setiap benteng juga sudah lenyap. Yang tersisa tinggal batang meriamnya yang telah dipotong-potong dengan menggunakan las.
Menurut catatan Ady, Benteng Karangbolong awalnya dibangun Inggris pada 1812. Namun, pada 1816, Belanda berhasil merebut dan menjadikannya sebagai titik terdepan pertahanan di sisi selatan Jawa.
’’Pembangunan benteng ini dilakukan oleh narapidana di era penjajahan. Mereka dipekerjakan secara paksa,’’ kata Ady.
Dari strukturnya, ada dua model bangunan di Benteng Karangbolong. Bangunan aslinya dibuat dengan mengepras bukit kapur. Lalu, ada bangunan tambahan berupa cor-coran semen dan tumpukan bata.