• Senin, 22 Desember 2025

Inklusi pajak untuk pengembangan masyarakat adat

Photo Author
- Selasa, 12 Agustus 2025 | 14:05 WIB
Sejumlah kepala suku mengikuti pembukaan jambore masyarakat adat di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Senin (11/8/2025).
Sejumlah kepala suku mengikuti pembukaan jambore masyarakat adat di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Senin (11/8/2025).



CEPOSONLINE.COM- Jakarta, 11/8 (ANTARA) -
Setiap tanggal 9 Agustus, dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional, sebuah momentum penting untuk mengakui peran, hak, dan kontribusi masyarakat adat terhadap kelestarian alam, keberagaman budaya, dan keberlanjutan kehidupan manusia.

Bagi Indonesia, yang memiliki ratusan kelompok masyarakat adat, dengan keragaman tradisi dan wilayah adat yang kaya sumber daya alam, peringatan ini menjadi pengingat akan pentingnya keadilan dan pemerataan manfaat pembangunan.

Salah satu instrumen kunci untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan manfaat pembangunan bagi masyarakat adat tersebut adalah pajak.

Pajak bukan sekadar sumber penerimaan negara, melainkan juga sebagai alat pemerataan kesejahteraan.

Karena itu, manfaat pajak perlu terus diupayakan agar sepenuhnya dirasakan oleh komunitas masyarakat adat, baik karena keterbatasan akses maupun kebijakan yang kurang sensitif terhadap kebutuhan mereka.

Konsep inklusi pajak hadir untuk memastikan bahwa kebijakan perpajakan dan alokasi penerimaan negara benar-benar mencakup kepentingan masyarakat adat, sehingga mereka dapat menikmati hasil pembangunan secara proporsional dan berkelanjutan.

Sehingga momentum Hari Masyarakat Adat Internasional menjadi bagian dari lanskap pengembangan masyarakat adat di Indonesia melalui distribusi hasil perpajakan yang adil dan merata.

Indonesia memiliki sekitar 2.000-an komunitas masyarakat adat, menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dengan estimasi jumlah anggota mencapai 50–70 juta orang.

Mereka tersebar di wilayah hutan, pesisir, pegunungan, dan pedalaman yang kaya sumber daya alam.

Sebagian besar komunitas ini masih berada dalam kategori rentan secara ekonomi.

Keterbatasan infrastruktur, akses layanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi membuat ketimpangan semakin lebar.

Pembangunan berbasis pajak sering kali berpusat di wilayah perkotaan atau pusat ekonomi, sementara masyarakat adat hanya menjadi penerima tidak langsung, bahkan kadang tidak sama sekali.

Dimensi pajak

Inklusi pajak memiliki dua dimensi penting untuk masyarakat adat.

Pertama, dimensi partisipasi ekonomi. Masyarakat adat, umumnya bergerak di sektor informal, mengandalkan hasil hutan bukan kayu, kerajinan tangan, perikanan tradisional, atau pertanian subsisten.

Dengan mekanisme pajak yang inklusif, kegiatan ekonomi mereka bisa difasilitasi untuk masuk pasar formal, tanpa membebani, misalnya melalui insentif pajak UMKM atau pembebasan PPh final di bawah omzet tertentu.

Kedua, dimensi pemerataan manfaat.

Penerimaan pajak perlu dialokasikan secara proporsional untuk pembangunan di wilayah adat, seperti infrastruktur desa, sekolah, pusat kesehatan, dan akses internet.

Skema earmarking atau alokasi khusus bisa menjadi pilihan, seperti yang dilakukan di beberapa negara untuk mendukung komunitas pribumi.

Ada beberapa hambatan yang menghalangi inklusi pajak bagi masyarakat adat.

Pertama, identifikasi dan pendataan yang belum optimal, di mana banyak komunitas adat belum terdata secara resmi, sehingga tidak masuk dalam perencanaan fiskal nasional maupun daerah.

Kedua, akses layanan perpajakan yang terbatas.

Jarak yang jauh dari kantor pajak dan keterbatasan literasi keuangan membuat masyarakat adat sulit memahami manfaat pajak atau memanfaatkan insentif yang tersedia.

Ketiga, model pembangunan yang kurang sensitif budaya, karena kebijakan sering tidak mempertimbangkan adat istiadat dan sistem sosial setempat, sehingga kurang efektif dalam implementasi.

Praktik internasional

Kanada memiliki skema bagi hasil pajak dengan komunitas first nations, di mana sebagian pajak yang dihasilkan dari wilayah adat dialokasikan langsung untuk pengembangan komunitas tersebut.

Australia menjalankan indigenous advancement strategy (IAS), yang menggabungkan dana pajak untuk pendidikan, kesehatan, pembangunan ekonomi, dan pelestarian budaya bagi masyarakat Aborigin, dengan melibatkan mereka dalam perencanaan dan pengawasan.

Norwegia memberikan dukungan fiskal khusus bagi masyarakat Sami untuk mendukung industri tradisional, seperti penggembalaan rusa dan pelestarian bahasa.

Beberapa strategi bisa dilakukan Pemerintah Indonesia terkait inklusi pajak bagi masyarakat adat ini.

Pertama, pemetaan dan registrasi wilayah adat.

Integrasi data masyarakat adat dalam sistem administrasi negara menjadi langkah awal agar kebijakan fiskal dapat menyasar tepat sasaran.

Kedua, desain insentif pajak yang relevan, misalnya pengurangan atau pembebasan pajak bagi produk ekonomi berbasis kearifan lokal, sertifikasi gratis bagi pelaku usaha adat, dan fasilitasi pemasaran.

Ketiga, skema alokasi khusus penerimaan pajak.

Sebagian penerimaan pajak daerah atau pusat dapat dialokasikan langsung untuk program pengembangan komunitas adat, dengan mekanisme transparan dan partisipatif.

Keempat, literasi pajak berbasis budaya. Edukasi pajak bisa dilakukan dengan pendekatan bahasa lokal, melibatkan tokoh adat, dan menggunakan media yang sesuai dengan kultur setempat.

Jika inklusi pajak diterapkan secara efektif, manfaat yang dapat diperoleh, antara lain;

peningkatan kemandirian ekonomi melalui pengembangan usaha berbasis potensi lokal, tanpa terjebak dalam praktik ekonomi eksploitatif; pemerataan pembangunan dengan infrastruktur dasar dan layanan publik yang menjangkau wilayah terabaikan; serta pelestarian lingkungan dan budaya yang sekaligus berkontribusi pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Inklusi pajak bukan hanya soal memperluas basis pajak, tetapi memastikan manfaat pajak menjangkau seluruh warga negara, termasuk masyarakat adat yang selama ini berada di pinggiran kebijakan.

Dengan strategi yang tepat, pajak bisa menjadi jembatan menuju keadilan sosial, pelestarian budaya, dan pembangunan berkelanjutan.

Masyarakat adat telah menjaga bumi ini selama ratusan tahun, kini giliran negara memastikan mereka mendapat bagian adil dari hasil pembangunan. Pajak untuk semua, termasuk mereka yang menjaga akar bangsa ini.

*) Dr M Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Lucky Ireeuw

Tags

Rekomendasi

Terkini

Persiapan Mandatori B50 Harus Clear and Clean

Kamis, 13 November 2025 | 22:33 WIB

MIRIS! Dapur MBG Kekurangan Ahli Gizi Berpengalaman

Sabtu, 27 September 2025 | 12:06 WIB
X