Tapi, karena pandemi, banyak horeka yang tutup sementara. Meski begitu, ternyata para pekebun hidroponik tersebut tidak kehilangan pasar.
”Di sisi lain, ada peningkatan permintaan dari end user (konsumen akhir) karena mereka tidak mau ke pasar atau supermarket selama pandemi,” jelas Dadan.
Maraknya urban farming atau home garden juga mengerek penjualan produsen benih. Direktur BISI International Tbk Agus Saputra Wijaya mengatakan, penjualan benih selama pandemi mengalami peningkatan yang signifikan jika dibandingkan dengan kondisi normal.
Normalnya penjualan tiap bulan hanya 30 ribu pak. Tapi, pada Juni lalu melonjak menjadi 50 ribu pak. ”Sejak awal pandemi pada Maret sudah mulai terasa, naik sampai dua kali lipat,” katanya.
International Product Development Manager BISI International Tbk Kurniawan Wibowo menambahkan, tren bertanam di pekarangan rumah tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di luar negeri. ”Kami mengekspor benih ke berbagai negara di Asia,” katanya.
Di Kelurahan Malaka Sari, Jakarta Timur, urban farming itu bahkan sudah dimulai jauh sebelum pandemi. Di RT 07, RW 02, misalnya, tanaman seperti kangkung, bayam, cabai, pakcoy, serai, jahe, kunyit, dan umbi-umbian tumbuh subur.
”Pupuk hasil pengolahan sampah kami manfaatkan untuk mengembangkan urban farming di ruang terbuka hijau di belakang bank sampah, luasnya sekitar 200 meter persegi,’’ terang Sere Rohana Napitupulu, ketua RT 07, kepada Jawa Pos.
Dari pengolahan urban farming itu, Sere berhasil menjadi Duta Urban Farming dari Bank Indonesia pada 2015. Waktu mengikuti lomba tersebut, ada 15 kelompok tani (poktan) yang diajukan DKI. Mereka salah satunya. Setiap kelompok tani yang mengikuti lomba itu didampingi selama setahun untuk mengembangkan tanaman.
Di rumahnya, Sere juga memanfaatkan teras rumah untuk bercocok tanam. Tanamannya tidak jauh berbeda dengan Urban Farming Ibu Bercahaya RW 02, Kelurahan Malaka Sari.
Ada pakcoy, bayam merah, tomat, jahe, dan cabai. Bahkan, bibit untuk urban farming maupun pekarangan rumah juga dia semai di rumah.
”Untuk panen di rumah kadang hasilnya banyak, ya walaupun hanya memanfaatkan pekarangan saja. Tapi, ada akuaponik dan hidroponik,” katanya.
Selain bernilai ekonomis, dia menyebutkan bahwa mengonsumsi panen sendiri lebih sehat karena jauh dari pestisida dan virus. Kalau tukang sayur lewat, kadang Sere mengajak tukeran. ”Saya kasih sayuran, dia kasih telur. Kan panennya juga cukup banyak,” terangnya.
Nilai ekonomis itu pula yang membuat Dadang berharap agar tren urban farming sekarang tidak sekadar berhenti sebagai hobi. Ada pasar yang terbuka yang bisa dimanfaatkan.
Mesti lebih banyak lagi yang terlibat dalam industri. Dan, jika sudah demikian, mereka juga harus menyesuaikan dengan kebutuhan.
Lewat koperasi yang didirikannya, Dadan mengarahkan pekebun-pekebun untuk bercocok tanam komoditas yang sedang banyak diminati pasar. Misalnya, untuk sekarang, menurut Dadan, yang jadi tren adalah sayur-sayuran oriental. ”Pakcoy, bayam, kangkung, itu yang paling banyak,” ujarnya.